Jumat, 11 Juni 2010

Produk tekstil impor kian kuasai pasar lokal

Sesuai dengan perkiraan, arus impor tekstil dan produk tekstil (TPT) sepanjang kuartal 1/2010 semakin besar dibandingkan dengan periode yang sama 2009. Akibatnya, industri garmen di dalam negeri yang berorientasi pasar domestik semakin terpojok. Pangsa pasar produsen lokal diperkirakan menyusut 10%-15% dari kondisi sebelumnya.

Berdasarkan data Indotextiles, lembaga pertekstilan nasional, selama Januari-Maret 2010, volume impor TPT yang terdiri dari tekstil (kain dan benang) serta pakaian jadi (garmen) melonjak 33,33% dari 252.000 lon menjadi 336.000 ton. Lonjakan impor terjadi pada kelompok produk pakaian jadi yakni 25% dari 8.000 tori menjadi 10.000 ton. sementara impor kain dan benang meningkat 23.21 % dari 112.000 ton menjadi 138.000 ton pada periode tersebut.

Meski terjadi lonjakan volume impor, nilai impor seluruh produk TPT hanya naik 0,72% dari USS 1.05 miliar menjadi US$1,06 miliar. Nilai -impor garmen hanya naik 9.29% dari US$55,72 juta menjadi USS6O.9 juta. Padahal, harga garmen yang notabene merupakan produk hilir TPT justru meningkat menyusul kenaikan harga balian baku.

Adapun, nilai impor kain dan benang naik 1,05% dari US$657,84 juta menjadi US$664,78 juta. Namun, nilai impor produk serat pada kuartal 1/2010 justru menyusut 1,34% dari US$340,47 juta menjadi US$335,91 ju-ta. Padahal, harga bahan baku serat baik poliester dan rayon (serat buatan) di pasar dunia naik cukup tajam.

Direktur Eksekutif Indotextiles Red-ma Gita Wirawasta menduga besarnya volume impor TPT akibat implementasi liberalisasi pasar Asean-China (ACFTA). Kerja sama perdagangan itu membuat produsen garmen di dalam negeri sulit bersaing dengan produk serupa dengan harga lebih murah. Dari omzet penjualan garmen di pasar domestik yang diperkirakan Rp20 triliun pada kuartal 1/2010, penguasaan produsen garmen lokal tak lebih dari 40% atau setara dengan Rp8 triliun. "Selebihnya dikuasai impor."

Menurut pengamatan Indotextiles, impor garmen asal China yang menggunakan skema bea masuk ACFTA mulai tampak sejak awal Januari. Kendati demikian, volume impor yang tercatat secara resmi tersebut lebih kecil dibandingkan dengan produk yang masuk secara ilegal. Kendali ACFTA diberlakukan, jangan dikira produk ilegal tidak bisa masuk. Justru importir memanfaatkan momentum ACFTA untuk menambah porsi impornya, terutama untuk produk yang masih dikenakan BM."

Saat ini, jelas Redma, dari sekitar 400 pos tarif (No. HS) produk garmen, masih terdapat 80 pos tarif yang dikenakan BM 5%, sementara 50 pos tarif lainnya masih dikenakan BM 15%.

Sesuai dengan perjanjian ACFTA, bea masuk 80 pos tarif tersebut baru dibebaskan pada 2012, sementara BM untuk 50 pos tarif lainnya menjadi 0% pada 201S dalam skema highly sensitive to (HSL).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar