Jumat, 11 Juni 2010

Pesona Batik Terpendam di Museum Tekstil


Jam sudah menunjukan pukul 10.30 WIB, namun cuaca terlihat mendung dan suasana di depan Museum Tekstil yang menempati bangunan tua bergaya arsitektur Eropa terlihat sepi seakan tak berpenghuni.

Bangunan dengan pagar pembatas di Jalan Aipda KS Tubun, Tanah Abang itu tergolong antik nan megah bak istana milik kepala negara namun diberi nama Museum Tekstil.

Ketika berjalan menuju teras bangunan gedung utama peninggalan abad ke-19 yang dibangun borjuis Perancis itu, terlihat pekerja berbaju kaos oblong berwarna biru tua membersihkan taman yang luasnya separuh lapangan bola kaki yang dikelilingi pepohonan rindang.

Di sela-sela tiang antik bagian depan pintu masuk gedung Museum Tekstil terlihat seorang pemuda membersihkan teras berlantai marmer dan yang lain menyodorkan buku tamu sekaligus menyobek karcis masuk dari atas meja senilai Rp2.000 per orang bagi pengunjung dewasa.

Kain batik yang dikurung kaca di tengah-tengah ruangan tamu yang memiliki luas seperti lapangan badminton itu, seakan menyambut para pengunjung yang masuk ke museum yang berdiri pada tahun 1976.

Dinding bagian kiri ruangan terpampang berbagai macam batik tulis dengan motif yang berbeda dari Pulau Jawa seperti taman arum dari Cirebon, Jawa Barat dan berbagai jenis "cating" atau alat untuk membuat motif batik, kemudian lilin, parafin, anglo dan wajan.

Sedangkan di dinding bagian kanan di ruangan itu terpampang sejumlah kain daerah lain seperti songket dari Medan, Sumatra Utara yang dipakai dalam upacara adat melayu dan berbagai jenis pewarna alami dari kulit kayu dan buah tanaman.

Tepat di bagian tengah rumah yang memiliki tiga kamar di bagian kanan dan kiri rumah itu dipamerkan peninggalan abad ke-18 berupa batik tertua yang masih tersisa berusia 233 tahun.

Peninggalan itu berupa umbul-umbul atau bendera dari Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat yang dibuat pada tahun 1776 berupa dari bahan katun dan sutera dengan motif kaligrafi Arab serta bergambar dua pedang kembar dengan didominasi warna hijau.

"Bendera ini merupakan ’masterpiece’, dan pada zamannya dijadikan sebagai pelengkap upacara adat seperti tolak bala dan bendera ketika menyiarkan Islam di Cirebon," ujar pengelola Museum Tekstil, Eko Hartoyo.

Batik tulis dengan ukuran panjang 310 sentimeter dan lebar 196 sentimeter pemberian dari Gusti Kanjeng Puteri Mangkunegara VIII yang diserahkan ketika museum itu diresmikan oleh Ibu Tien Soeharto pada 28 Juni 1976.

"Kami hanya memajang duplikatnya saja, kalau bendera yang asli kami simpan bersama dengan benda-benda koleksi tekstil lain di museum ini," kata dia.

Selain batik, bagian dinding dan ruang kamar gedung yang pernah dimiliki Konsulat Turki sebelum dimiliki oleh Departemen Sosial tahun 1962 turut dihiasi berbagai macam jenis kain seperti ulos batak, ikat kepala wanita Bengkulu dan kain geringsing dalam upacara adat Bali untuk kelahiran, potong gigi, perkawinan dan kematian.

Bahkan selimut dari Timor Timur yang berpisah dari pelukan ibu pertiwi juga masih terpampang di salah satu bagian dinding yang kini perawatan dan pengelolaan museum diserahkan kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.

Museum Tekstil kini memiliki total 1.826 benda-benda koleksi yang berhubungan dengan dunia tekstil termasuk peralatan mulai dari benang, hiasan tekstil, peralatan tenun, kain bukan tenun seperti kulit kayu dan kulit buah, serta kain tenun dan pakaian siap pakai.

Ribuan koleksi itu buatan akhir abad ke-18 sampai paruh pertama abad ke 20 dan sebagian besar benda koleksi dari berbagai daerah di tanah air itu disumbangkan oleh Wastaprema atau himpunan pecinta kain tradisional Indonesia.

"Namun hanya sekitar 100 koleksi saja yang dipamerkan secara bergantian di ruang pameran," ujar Eko.

Museum yang didirikan pada saat Ali Sadikin memimpin Jakarta tidak hanya memamerkan beribu cerita budaya dari benda mati, tetapi juga benda hidup seperti pepohonan yang digunakan sebagai bahan baku pewarna alami batik yang ditanam pada taman seluas 2.000 meter persegi di bagian belakang gedung utama.

Berbagai kursus dan pelatihan juga digelar di museum ini, agar budaya pembuatan tekstil tradisional Indonesia dapat dilestarikan.

"Pelatihan membatik mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat dan mereka yang mengikuti program ini telah mampu mengembangkan karyanya lebih profesional selain hobi," kata pengajar membuat batik Museum Tekstil, Krismini.

Bahkan para warga negara asing (WNA) yang tinggal di Ibukota Jakarta dewasa ini semakin meminati dunia batik baik sekedar belajar membuat atau membawa buah tangan dari tanah air serta dipamerkan.

Murid-murid yang datang dari negeri bunga sakura Jepang secara khusus mempelajari kerajinan tangan yang berasal dari suku jawa itu.

Krismini yang telah menjadi staf pengajar membuat batik selama 10 tahun di Museum Tekstil mengaku telah memiliki murid sekitar 1.000 orang dan separuh di antaranya berasal dari Amerika Serikat, Australia, Perancis, Inggris, Jepang, Korea Selatan dan Afrika Selatan.

"Awal 2009 hingga kini sedikitnya saya memiliki 20 murid dari luar negeri dan didominasi dari Jepang, kemudian pada bulan Juni-Juli mendatang terdapat beberapa kelompok dari Australia yang dijadwalkan belajar membatik kemari," kata dia.

Produk batik yang dihasilkan murid yang berasal dari luar negeri jauh lebih bagus dibanding batik yang dihasilkan oleh murid yang berasal dari dalam negeri seperti dari perguruan tinggi atau masyarakat Jakarta dan sekitar.

"Murid yang dari luar negeri rasa ingin tahun mereka lebih besar sehingga batik yang dihasilkan lebih halus, memiliki berbagai motif karena mereka sangat sabar dalam pembuatan. Kalau orang kita nggak sabaran dan terkadang hanya sekedar ingin tahu saja," jelas dia.

Suyoun Kim, (32) wanita berkebangsaan Korea Selatan yang ditemui di lokasi itu mengaku telah setahun mempelajari cara pembuatan batik di Museum Tekstil.

"Batik merupakan kain tradisional yang cantik dan membuat saya suka, tapi orang Korea tidak banyak yang tahu. Nanti kalau balik ke Korea saya ingin perkenalkan kain cantik ini dan membuatnya disana," ujar Kim dengan bahasa Indonesianya yang terbata-bata.

Kini museum itu berharap dimanfaatkan agar kebudayaan bangsa Indonesia tidak luntur karena tergerus oleh perkembangan zaman atau suatu saat nanti kekayaan budaya tekstil tanah air itu diklaim menjadi milik negara lain.

Maret, Tekstil China Banjiri Tanah Abang

VIVAnews - Bea masuk impor sejumlah produk dari negara-negara ASEAN dan China saat ini sudah nol persen. Kebijakan ini setelah diberlakukan secara penuh perjanjian perdagangan bebas (FTA) ASEAN-China sejak Januari ini.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia menyatakan, tidak adanya bea masuk membuat produk asing mudah masuk ke Indonesia. Untuk tekstil, diperkirakan bakal membanjir di pasar-pasar lokal, seperti Tanah Abang, dalam 3-4 bulan mendatang. "Ya sekitar Maret-April," kata Wakil Ketua API Ade Sudrajat kepada VIVAnews melalui sambungan telepon, Jumat 8 Januari 2010.

Menurut dia, nantinya setelah Maret, serbuan tekstil asing, terutama dari China, akan menambah hingga 10 persen pasar tekstil nasional. Saat ini pasar tekstil nasional sebanyak Rp 74 triliun atau sekitar US$ 8 miliar. 55 persen di antaranya dipasok dari produksi lokal. "Jadi nanti produk lokal akan berkurang jadi 45 persen," katanya.

Sedangkan pasar ekspor, Ade mengatakan, tahun lalu mencapai US$ 10,3 miliar. Angka ini akan naik menjadi US$ 10,5 miliar pada 2010. "Dampak krisis global masih terasa di beberapa negara, jadi ekpor kami belum meningkat tajam."

Mengenai persiapan menghadapi serangan produk asing, dia mengatakan, industri sudah mengantisipasi sejak 2005. Saat itu bea masuk produk teksil masih 25 persen. Lalu setiap 1 Januari dikurangi 5 persen. Sehingga pada Januari 2010, bea masuk sudah menjadi nol persen. "Jadi kami sudah siap bersaing," ujarnya. "Produk kami jauh lebih bagus, pengirimannya juga tepat. Ini yang menjadi kelebihan kita."

Sayangnya, Asosiasi menilai justru pemerintah lah yang belum siap melindungi industri. Pemerintah justru sibuk menanggapi pro dan kontra pasar bebas. "Tidak seharusnya (berdebat) seperti itu. Pemerintah justru harus membuat kebijakan agar produk lokal bisa bersaing dengan asing. Itu saja," kata dia.

Bila pemerintah bila pemerintah bisa memberi kebijakan perlindungan, produk lokal bisa bersaing kompetitif dengan China. "Penyamaan suku bunga dan pembangunan infrastruktur pelabuhan, itu yang perlu dilakukan pemerintah," ujar Ade.

Produk tekstil impor kian kuasai pasar lokal

Sesuai dengan perkiraan, arus impor tekstil dan produk tekstil (TPT) sepanjang kuartal 1/2010 semakin besar dibandingkan dengan periode yang sama 2009. Akibatnya, industri garmen di dalam negeri yang berorientasi pasar domestik semakin terpojok. Pangsa pasar produsen lokal diperkirakan menyusut 10%-15% dari kondisi sebelumnya.

Berdasarkan data Indotextiles, lembaga pertekstilan nasional, selama Januari-Maret 2010, volume impor TPT yang terdiri dari tekstil (kain dan benang) serta pakaian jadi (garmen) melonjak 33,33% dari 252.000 lon menjadi 336.000 ton. Lonjakan impor terjadi pada kelompok produk pakaian jadi yakni 25% dari 8.000 tori menjadi 10.000 ton. sementara impor kain dan benang meningkat 23.21 % dari 112.000 ton menjadi 138.000 ton pada periode tersebut.

Meski terjadi lonjakan volume impor, nilai impor seluruh produk TPT hanya naik 0,72% dari USS 1.05 miliar menjadi US$1,06 miliar. Nilai -impor garmen hanya naik 9.29% dari US$55,72 juta menjadi USS6O.9 juta. Padahal, harga garmen yang notabene merupakan produk hilir TPT justru meningkat menyusul kenaikan harga balian baku.

Adapun, nilai impor kain dan benang naik 1,05% dari US$657,84 juta menjadi US$664,78 juta. Namun, nilai impor produk serat pada kuartal 1/2010 justru menyusut 1,34% dari US$340,47 juta menjadi US$335,91 ju-ta. Padahal, harga bahan baku serat baik poliester dan rayon (serat buatan) di pasar dunia naik cukup tajam.

Direktur Eksekutif Indotextiles Red-ma Gita Wirawasta menduga besarnya volume impor TPT akibat implementasi liberalisasi pasar Asean-China (ACFTA). Kerja sama perdagangan itu membuat produsen garmen di dalam negeri sulit bersaing dengan produk serupa dengan harga lebih murah. Dari omzet penjualan garmen di pasar domestik yang diperkirakan Rp20 triliun pada kuartal 1/2010, penguasaan produsen garmen lokal tak lebih dari 40% atau setara dengan Rp8 triliun. "Selebihnya dikuasai impor."

Menurut pengamatan Indotextiles, impor garmen asal China yang menggunakan skema bea masuk ACFTA mulai tampak sejak awal Januari. Kendati demikian, volume impor yang tercatat secara resmi tersebut lebih kecil dibandingkan dengan produk yang masuk secara ilegal. Kendali ACFTA diberlakukan, jangan dikira produk ilegal tidak bisa masuk. Justru importir memanfaatkan momentum ACFTA untuk menambah porsi impornya, terutama untuk produk yang masih dikenakan BM."

Saat ini, jelas Redma, dari sekitar 400 pos tarif (No. HS) produk garmen, masih terdapat 80 pos tarif yang dikenakan BM 5%, sementara 50 pos tarif lainnya masih dikenakan BM 15%.

Sesuai dengan perjanjian ACFTA, bea masuk 80 pos tarif tersebut baru dibebaskan pada 2012, sementara BM untuk 50 pos tarif lainnya menjadi 0% pada 201S dalam skema highly sensitive to (HSL).